Dunia IT memang tidak pernah surut, setiap detik selalu mengalir bagai air dan berubah-ubah bagai cuaca. Perubahan yang sangat drastis atau sering disebut dengan revolusi membuat mereka yang tidak siap akan perubahan tersebut menjadi kalang kabut, mereka akhirnya berlomba-lomba untuk mengejar dan berusaha untuk meng-upgrade kemampuan diri mereka. Namum di sisi lain ada pula yang acuh tak acuh dengan perubahan yang terjadi. Bisa jadi mereka adalah golongan orang-orang yang tahu akan perubahan, tetapi enggan dan malas untuk berubah menjadi lebih baik, atau golongan yang memang tidak tahu sama sekali kalau sudah terjadi perubahan. Nah… golongan yang terakhir inilah perlu mendapatkan pengarahan dan perhatian agar mereka tahu dan dapat memilih mana yang lebih baik.
Ilustrasi di atas menggambarkan fenomena yang terjadi saat ini di negara kita, di mana telah terjadi perubahan yang begitu fantastis dalam dunia IT terutama di bidang Open Source-nya, akan tetapi masih banyak para pengguna IT masih enggan untuk menggunakannya. Mereka lebih nyaman dengan software bajakannya dari pada menggunakan software-software Open Source dalam lingkungan kerja mereka.
Ada tiga alasan yang mendasar yang dapat dikemukakan:
Alasan pertama: sangat simple, bahwa dengan menggunakan Windows mereka tidak perlu belajar lagi, karena sejak sekolah dulu mereka sudah belajar Windows. Di sisi lain pihak perusahaan atau instansi enggan bermigrasi karena akan menambah beban dengan meng-upgrade-kan lagi karyawannya. Ini tentunya akan menghambat jalannya pekerjaan/produktivitas atau ada tambahan dana untuk hal tersebut. Intinya dengan software bajakan (selama tidak terjaring razia pelanggaran UU-HAKI) mereka tetap enjoy dan aman-aman saja.
Sebetulnya peran dunia pendidikan sangatlah penting dalam membantu penegakan Undang-Undang HAKI (Hak Atas Kekayaan Intelektual), karena di dalam kurikulum pembelajarannya sudah dicantumkan materi tentang HAKI. Tetapi peran instansi pendidikan sebagai penyedia sumber daya manusia (SDM) dan dunia lapangan pekerjaan sebagai penampung output dari dunia pendidikan saat ini masih kurang mendukung.
Lalu mengapa dunia pendidikan enggan bermigrasi ke OpenSource (linux)? Alasan mereka karena khawatir kalau nantinya output yang dihasilkan tidak laku di dunia lapangan kerja, sebab sekarang masih banyak perusahaan atau instansi kerja yang menggunakan OS windows dan aplikasi lain yang tidak open source. Selain itu, para pendidik TI (terutama sekolah Negeri) kurang berani mengambil keputusan untuk migrasi ke Linux dengan alasan takut kalau hal tersebut tidak sesuai dengan standar kurikulum yang berlaku dari DIKNAS baik pusat maupun Daerah. Padahal semangat mereka untuk migrasi itu ada, namun karena takut menjadi suku terasing akhirnya mereka memilih yang umum saja pake Windows Bajakan. (sumber: angket seminar " Linux Goes To School" yang diadakan di SMA Ta'miriyah Surabaya pada hari Sabtu, 3 Maret 2007)
Ilustrasi di atas menggambarkan fenomena yang terjadi saat ini di negara kita, di mana telah terjadi perubahan yang begitu fantastis dalam dunia IT terutama di bidang Open Source-nya, akan tetapi masih banyak para pengguna IT masih enggan untuk menggunakannya. Mereka lebih nyaman dengan software bajakannya dari pada menggunakan software-software Open Source dalam lingkungan kerja mereka.
Ada tiga alasan yang mendasar yang dapat dikemukakan:
Alasan pertama: sangat simple, bahwa dengan menggunakan Windows mereka tidak perlu belajar lagi, karena sejak sekolah dulu mereka sudah belajar Windows. Di sisi lain pihak perusahaan atau instansi enggan bermigrasi karena akan menambah beban dengan meng-upgrade-kan lagi karyawannya. Ini tentunya akan menghambat jalannya pekerjaan/produktivitas atau ada tambahan dana untuk hal tersebut. Intinya dengan software bajakan (selama tidak terjaring razia pelanggaran UU-HAKI) mereka tetap enjoy dan aman-aman saja.
Sebetulnya peran dunia pendidikan sangatlah penting dalam membantu penegakan Undang-Undang HAKI (Hak Atas Kekayaan Intelektual), karena di dalam kurikulum pembelajarannya sudah dicantumkan materi tentang HAKI. Tetapi peran instansi pendidikan sebagai penyedia sumber daya manusia (SDM) dan dunia lapangan pekerjaan sebagai penampung output dari dunia pendidikan saat ini masih kurang mendukung.
Lalu mengapa dunia pendidikan enggan bermigrasi ke OpenSource (linux)? Alasan mereka karena khawatir kalau nantinya output yang dihasilkan tidak laku di dunia lapangan kerja, sebab sekarang masih banyak perusahaan atau instansi kerja yang menggunakan OS windows dan aplikasi lain yang tidak open source. Selain itu, para pendidik TI (terutama sekolah Negeri) kurang berani mengambil keputusan untuk migrasi ke Linux dengan alasan takut kalau hal tersebut tidak sesuai dengan standar kurikulum yang berlaku dari DIKNAS baik pusat maupun Daerah. Padahal semangat mereka untuk migrasi itu ada, namun karena takut menjadi suku terasing akhirnya mereka memilih yang umum saja pake Windows Bajakan. (sumber: angket seminar " Linux Goes To School" yang diadakan di SMA Ta'miriyah Surabaya pada hari Sabtu, 3 Maret 2007)
Keputusan inilah yang akhirnya menjadikan bumerang bagi kita, sebab titik awal berkembangnya kultur dan teknologi di suatu negara berawal dari dunia pendidikan. Kalau sejak awal sudah dikenalkan dengan produk bajakan (illegal) bagaimana nantinya output yang dihasilkan??...
Alasan yang kedua: ini masuk akal juga, bahwa distro-distro yang bertebaran saat ini (khususnya di Indonesia) belum ada yang memasukkan paket-paket aplikasi pendidikan yang berbasis kurikulum di Indonesia, walaupun sudah ada distro yang berbahasa Indonesia. Distro pendidikan seperti Freeduc, Knoscience, Edubuntu dan yang lainnya, kalaupun ada unsur edukasinya masih dianggap kurang pas. Intinya pendidikan sendiri merasa kurang diperhatikan oleh para pengembang distro di Indonesia. Sebab sekarang yang ramai dibahas dalam dunia IT lebih condong dalam hal unjuk kehebatan dan keunggulan system operasi dan aplikasi, tanpa melihat sesuatu yang fundamental bagi masa depan yaitu dunia pendidikan ditingkat yang paling rendah. Tingkat pendidikan inilah yang seharusnya harus di-support secara penuh, karena di masa inilah mereka mulai mengenal IT.
Alasan yang ketiga: mungkin ada betulnya, sebab mereka para pendidik dan instansi pendidikan belum tahu apa itu linux yang tahu hanya Windows, karena sejak pertama beli komputer sudah terinstal Windows bajakan di dalamnya. Ini banyak terjadi di lingkungan pendidikan yang berada di daerah pelosok, yang jauh dari media informasi terkini (internet) atau berita-berita perkembangan IT. Jangankan menginstal distro, nama distro yang beredar saja mereka tidak kenal.
Apakah linux hanya untuk kaum metropolis atau kota-kota besar saja? Apakah sudah ada yang mencoba para pakar, praktisi atau komunitas IT (Open Source/Linux) yang mencoba untuk sosialisasi ke daerah-daerah tersebut? Misalnya dengan roadshow dan pelatihan (workshop) dengan dukungan aparat tekait?
Dari alasan-alasan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa keengganan dunia pendidikan menggunakan Linux sebagai software pendidikan disebabkan kurangnya dukungan penuh dari pelaksana penyelenggara pendidikan, kemudian dari pihak penyedia lapangan kerja sebagai penerima output pendidikan, dan dari para pakar, praktisi, komunitas dan pengembang Open Source itu sendiri. Pihak-pihak inilah yang sebenarnya turut dan ikut berperan serta dalam menciptakan mentalitas, kultur dan kualitas suatu bangsa dalam dunia IT di tanah air ini.
Banyak sebetulnya generasi-generasi yang berkualitas, namun tidak ada support dan dukungan yang memadai sehingga mereka terjebak dalam lingkungan yang sudah terkondisi tanpa kita sadari.
Maraknya pembajakan hak cipta, dan pelanggaran HAKI lainnya, tak lain dan tak bukan karena sejak awal mereka secara sengaja ataupun tidak sudah kita ajari menjadi seorang pembajak sejak usia dini di lingkungan pendidikan yang katanya menjunjung tinggi nilai-nilai moral. Jadi kita tidak perlu ribut atau saling tuding siapa yang bersalah, tetapi mari kita koreksi, apakah kita sebagai pendidik, pakar, praktisi, komunitas IT, penyedia lapangan kerja atau instansi dan aparat terkait, sudahkah kita turut dan ambil bagian dalam memperhatikan dunia pendidikan kita khususnya di bidang IT yang Open Source??.... Dan bagaimana dengan realita slogan yang dicanangkan pemerintah tentang “Indonesia Go Open Source” bisakah segera terwujud, atau hanya sekedar Lips Service belaka?........Ingin jadi bangsa yang maju di bidang IT, atau sebagai pengekor?...Tentunya jawaban itu ada pada diri kita masing-masing.
Alasan yang kedua: ini masuk akal juga, bahwa distro-distro yang bertebaran saat ini (khususnya di Indonesia) belum ada yang memasukkan paket-paket aplikasi pendidikan yang berbasis kurikulum di Indonesia, walaupun sudah ada distro yang berbahasa Indonesia. Distro pendidikan seperti Freeduc, Knoscience, Edubuntu dan yang lainnya, kalaupun ada unsur edukasinya masih dianggap kurang pas. Intinya pendidikan sendiri merasa kurang diperhatikan oleh para pengembang distro di Indonesia. Sebab sekarang yang ramai dibahas dalam dunia IT lebih condong dalam hal unjuk kehebatan dan keunggulan system operasi dan aplikasi, tanpa melihat sesuatu yang fundamental bagi masa depan yaitu dunia pendidikan ditingkat yang paling rendah. Tingkat pendidikan inilah yang seharusnya harus di-support secara penuh, karena di masa inilah mereka mulai mengenal IT.
Alasan yang ketiga: mungkin ada betulnya, sebab mereka para pendidik dan instansi pendidikan belum tahu apa itu linux yang tahu hanya Windows, karena sejak pertama beli komputer sudah terinstal Windows bajakan di dalamnya. Ini banyak terjadi di lingkungan pendidikan yang berada di daerah pelosok, yang jauh dari media informasi terkini (internet) atau berita-berita perkembangan IT. Jangankan menginstal distro, nama distro yang beredar saja mereka tidak kenal.
Apakah linux hanya untuk kaum metropolis atau kota-kota besar saja? Apakah sudah ada yang mencoba para pakar, praktisi atau komunitas IT (Open Source/Linux) yang mencoba untuk sosialisasi ke daerah-daerah tersebut? Misalnya dengan roadshow dan pelatihan (workshop) dengan dukungan aparat tekait?
Dari alasan-alasan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa keengganan dunia pendidikan menggunakan Linux sebagai software pendidikan disebabkan kurangnya dukungan penuh dari pelaksana penyelenggara pendidikan, kemudian dari pihak penyedia lapangan kerja sebagai penerima output pendidikan, dan dari para pakar, praktisi, komunitas dan pengembang Open Source itu sendiri. Pihak-pihak inilah yang sebenarnya turut dan ikut berperan serta dalam menciptakan mentalitas, kultur dan kualitas suatu bangsa dalam dunia IT di tanah air ini.
Banyak sebetulnya generasi-generasi yang berkualitas, namun tidak ada support dan dukungan yang memadai sehingga mereka terjebak dalam lingkungan yang sudah terkondisi tanpa kita sadari.
Maraknya pembajakan hak cipta, dan pelanggaran HAKI lainnya, tak lain dan tak bukan karena sejak awal mereka secara sengaja ataupun tidak sudah kita ajari menjadi seorang pembajak sejak usia dini di lingkungan pendidikan yang katanya menjunjung tinggi nilai-nilai moral. Jadi kita tidak perlu ribut atau saling tuding siapa yang bersalah, tetapi mari kita koreksi, apakah kita sebagai pendidik, pakar, praktisi, komunitas IT, penyedia lapangan kerja atau instansi dan aparat terkait, sudahkah kita turut dan ambil bagian dalam memperhatikan dunia pendidikan kita khususnya di bidang IT yang Open Source??.... Dan bagaimana dengan realita slogan yang dicanangkan pemerintah tentang “Indonesia Go Open Source” bisakah segera terwujud, atau hanya sekedar Lips Service belaka?........Ingin jadi bangsa yang maju di bidang IT, atau sebagai pengekor?...Tentunya jawaban itu ada pada diri kita masing-masing.
Gunakan Open Source/GPL untuk menyelamatkan mental generasi kita dan menghemat devisa Negara.
2 komentar:
setuju pak.....
Pak, saya minta artikel ini untuk blog saya yah!
Trima kasih pak!
Demi kebaikan bersama! n_
Posting Komentar